ANARKISME DAN LOKALITAS

Apa Itu “Maesa”?
Maesa adalah sebuah kata dalam bahasa Minahasa yang mengandung makna “yang berbeda – yang bersatu”.
Dengan begitu banyaknya penafsiran anarkisma, perlu diambil sebuah kebijakan bersama untuk saling mengakui eksistensi dari perbedaan itu. Setelah sadar berbeda, perlu kemudian menentukan titik temu, bukan sintesa, tetapi sebuah keyakinan bersama bahwa, walaupun berbeda metode dan analisa, tetap memiliki tujuan yang sama.

ANARCHO MAESA bermaksud menjadi tempat “rendezvous” dari beragam pemikiran anarkis dari kawasan “bibir pasifik”, di Utara Celebes.


ANARCHISM: THE SOLUTION

In the minds of the general public, anarchism stands for an endorsement of anarchy, which is thought by many to mean a state of chaotic lawlessness. It would therefore seem to be diametrically opposed to the affirmation of community. In fact, anarchism refers to two absolute, apparently contradictory but complementary virtues toward which a good life must strive: the integrity of the individual human conscience, resistant to the dictates of both institutional power and the mob; and the dedication of the individual to the general good”. (Encyclopedia of Community: From the Village to the Virtual World).


KEMBALI KE JALAN YANG BENAR: MARI MENJADI ANARKIS!

Sebelum Anda Membaca…

Pembaca yang terhormat, jika anda terkejut dengan judul tulisan ini, saya tidak akan menyalahkan anda, malah mungkin justru anda yang buru-buru menyalahkan saya. Maka, tetaplah terus membaca, sebab mungkin anda akan mengkoreksi pemikiran anda itu, paling tidak sedikit demi sedikit. Tetapi, saya tidak menulis untuk mempengaruhi anda. Anda tidak perlu percaya kepada saya, sebab anda punya hak untuk tidak percaya kepada saya. Saya menulis tulisan ini agar anda mengerti apa yang sedang saya pikirkan. Mudah-mudahan di akhir tulisan ini saya sebagai penulis dan anda sebagai pembaca bisa saling baku mangarti.

Mengartikan Anarkisma

Penggunaan kata anarki yang tertua ditemukan pada naskah drama karya Aeschylus, Seven Againts Thebes, bertahun 467 SM. Dalam naskah ini, tokoh Antigone menolak menjalankan perintah dari penguasa dengan kalimat “ekhous apiston tênd anarkhian polei”. Mengartikan apa itu Anarkisma adalah sesuatu yang tidak gampang, mengingat kata ini telah terlalu lama dilekati oleh lebih banyak makna negatif. Media-masa kini yang menggunakan kata “anarkis” sebagai sebuah terma yang menggambarkan aksi-aksi destruktif, vandalis, dan khaotik, malah memperburuk pemaknaan. Bereferensi kepada “bahasa media”, yang seharusnya adalah bahasa “orang-orang terdidik” (baca Rudolf Rocker: Anarkisme & Anarko-Sindikalisme), ternyata tidak akan banyak membantu kita mengerti banyak, sebab bagaimanapun media bertendensi untuk menggunakan kata-kata yang “eye/ear catching” dan kedengaran bombastis agar lebih menarik perhatian publik. Lucunya, pelajar dan akademisi juga latah memahami kata ini hanya dari makna negatifnya. Pejabat Pemerintahan malah seolah “melegalkan” makna negatif ini lebih lanjut. Pemaknaan Anarkisma secara negatif sebenarnya bermula dari penggunaan kata ini dalam Perang Saudara Inggris (English Civil War) oleh para Royalist, pendukung monarki/imperialisma, untuk menghujat dalam orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Anarchism terderivasi dari bahasa Grika ν (tanpa) + ρχειν (pemerintah) yang secara lebih bebas berarti "tanpa penguasa". Sebagai pengimbang, mungkin akan lebih netral jika kita mencoba mengartikan kata ini secara “bahasa kamus”. Webster Dictionary mengartikan Anarki sebagai “non-existence or incapability of govermental rule”, ketiadaan atau ketidakmampuan kekuasaan pemerintahan. Selanjutnya, Anarkisma didefinisikan dalam buku The Concise Oxford Dictionary of Politics sebagai "the view that society can and should be organized without a coercive state." Pengartian selanjutnya dapat kita temukan dalam Dictionary of Politics and Government yang menulis: anarchism sebagaithe belief that there is no need for a system of government in a society” dengan tambahan komentar: “Anarchism flourished in the latter part of the 19th and early part of the 20th century. Anarchists believe that there should be no government, no army, no civil service, no courts, no laws, and that people should be free to live without anyone to rule them”.

Saya kemudian menemukan kesimpulan dalam The Concise Oxford Dictionary of Politics yang menggambarkan Anarkisma sebagai "a cluster of doctrines and attitudes centered on the belief that government is both harmful and unnecessary”, Anarkisma adalah sebuah faham yang menganggap pemerintahan/kekuasaan adalah sesuatu yang tidak perlu, bahkan pada ekstrimitasnya, berbahaya.

(Sampai pada titik ini, mungkin ada lebih baik anda coba menganalisa kembali makna Anarkisma yang selama ini telah ada di benak anda sebelumnya, dibandingkan dengan makna Anarkisma yang saya paparkan diatas. Jangan langsung terpengaruh oleh kata-kata saya, anda saya sarankan untuk membaca terus.)

Memahami Anarkisma

Walau masih diperdebatkan bukti-bukti antropologisnya, Harold Barclay dalam People Without Government: An Anthropology of Anarchism menuliskan bahwa umat manusia telah hidup ribuan tahun dengan damai dalam sebuah masyarakat tanpa pemerintahan. Jared Diamond, penulis The Worst Mistake in the History of the Human Race, menggambarkan Masyarakat Adat sebagai sangat egaliter. Kemunculan masyarakat hirarkislah yang kemudian menciptakan politik dan melahirkan pemaksaan kekuasaan dalam bentuk kekerasan. Louis-Armand, Baron de Lahontan, dalam bukunya yang dipublikasikan tahun 1703, “Nouveaux voyages dans l'Amérique septentrionale” (New Voyages in Northern America), menggambarkan penduduk asli Amerika yang tak memiliki negara, hukum, dan penjara, sebagai sebuah masyarakat anarki.

Ide awal Anarkisma sebagai sebuah perspektif pemikiran lahir sebagai respons terhadap represi kekuasaan dan institusi politik. Filsuf Zeno dari Citium, pendiri mashab Stoik, berargumen dengan Plato bahwa akal harus menggantikan kekuasaan/pemerintahan dalam membina unsur-unsur kemasyarakatan. Ia berpendapat bahwa dalam walaupun dalam insting manusia telah terpatri “egoisme”, kita juga dikaruniakan “rasa sosial” sebagai penyeimbang. Filsuf Arristippus, seperti dikutip Sean Sheehan dalam bukunya Anarchism, berkata bahwa “yang bijak seharusnya tidak memberikan kekuasaan kepada negara

Dalam dunia filsafat timur, Lao Tze, seperti tergambar dalam Tao Te Ching, mengembangkan filosofi “tanpa kekuasaan” yang kemudian mengantar para penganut Taoisma hidup dalam pola Anarkisma. Para penganut Anarkisma Nasrani berpendapat bahwa tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari “kekuasaan Tuhan”, dan menentang segala bentuk kekuasaan lain yang “didirikan manusia”. Ajaran Kristus dinilai sangat mengandung nilai-nilai Anarkisma dan kehidupan jemaat mula-mula juga jelas-jelas mempraktekkan hal yang sama. Kelompok Kristen Anabaptis di Eropa pada abad 16 adalah para praktisi Anarkisma Nasrani. Bertrand Russell dalam bukunya History of Western Philosophy menulis bahwa penganut Anabaptis "repudiated all law, since they held that the good man will be guided at every moment by the Holy Spirit...". Sepanjang sejarah umat manusia, banyak gerakan religius yang meletakkan landasannya di atas pemahaman Anarkisma.

The Oxford Companion to Philosophy, berkata bahwa "there is no single defining position that all anarchists hold, beyond their rejection of compulsory government, and those considered anarchists at best share a certain family resemblance". Pilar-pilar Anarkisma mendukung: otonomi, perdamaian, konsensus, kooperasi, partisipasi, kolektivitas, de-birokrasi, persamaan hak dan kewajiban, persamaan derajat, saling tolong menolong, kepemilikan pribadi, kesadaran dan kebebasan berkumpul dan asosiasi pekerja independen, penyelamatan alam, perlawanan budaya. Anarkisma sendiri menolak: autoritarisma, pensensoran, kekerasan, ekploitasi, hirarki sosial (pengkastaan), fasisma, imperialisma, paternalisma, politisasi/kekuasaan agama, statistika massa, sosialisma negara dan ekonomi terencana.

Adalah Pierre-Joseph Proudhon yang kemudian dianggap sebagai yang pertama mendeklarasikan diri sebagai seorang anarkis, melalui bukunya yang menghebohkan, What is Properti?, terbit tahun 1840. Kalimat yang paling terkenal dari karyanya ini adalah "Liberty is the mother, not the daughter, of order”. Oleh karena pemikirannya ini, Ia disebut-sebut sebagai penggagas dari Anarkisma Modern. Proudhon mengoposisi dua paham, Kapitalisma dan Komunisma sekaligus. Dan, oleh karena pilihan ideologinya inilah Anarkisma akhirnya harus mengalami rongrongan dari “dua kubu besar” ini. Jadi, agaknya kurang tepat jika ada yang mengatakan jika Anarkisma adalah “sempalan” dari Komunisma. Tokoh Anarkisma, Mikhail Bakunin, pada konferensi “The First International” tahun 1864 menolak keras Autoritarianisme yang menjadi sendi dasar dari Komunisma.

Alexander Bergman, David D. Friedman, Emma Goldman, Shusui Kotoko, Peter Kropotkin, Errico Malatesta, Nestor Makhno, Buenaventura Durruti, Voltairine de Cleyre, Hakim Bey, Saul Newman dan setumpuk nama lainnya adalah tokoh-tokoh Anarkisma selanjutnya. Banyak juga tokoh-tokoh dalam sejarah secara tidak langsung mengaku bahwa ia Anarkis, namun dalam secara ideal dan praktis mereka menganut Anarkisma. Beberapa diantaranya adalah: Leo Tolstoy, Henry David Thoreau, Gustave de Molinari, Guy Debord, William Godwin, Howard Zinn, Noam Chomsky, Jack Kerouac, dan, jangan kaget, Thomas Jefferson, Mohandas Gandhi, dan Karl Marx!

Thomas Jefferson, seorang pendiri Amerika Serikat, seorang penjunjung Demokrasi, mendukung Anarkisma dan mengkritik kekorupan sistem governansi Eropa dengan berucap: "The basis of our governments being the opinion of the people, the very first object should be to keep that right; and were it left to me to decide whether we should have a government without newspapers or newspapers without a government, I should not hesitate a moment to prefer the latter. But I should mean that every man should receive those papers and be capable of reading them. I am convinced that those societies (as the Indians) which live without government enjoy in their general mass an infinitely greater degree of happiness than those who live under the European governments. Among the former, public opinion is in the place of law and restrains morals as powerfully as laws ever did anywhere. Among the latter, under pretense of governing, they have divided their nations into two classes, wolves and sheep. I do not exaggerate. This is a true picture of Europe”.

(Sekali lagi, saya tidak sedang mempengaruhi anda. Saya yakin, anda cukup bisa menemukan makna yang paripurna. Tinggal sebuah bagian singkat lagi dalam tulisan saya ini. Tidak ada ruginya untuk terus membaca, bukan?)

Menjadi Anarkis!

Anarkisma memang bukan sebuah falsafah yang sangat sempurna, sebagaimana juga falsafah manapun di dunia ini. Saya tidak akan menyembunyikan fakta bahwa memang ada segelintir anarkis, mereka yang terpengaruh dengan “Nihilist Movement” di akhir abad ke-19 lalu, yang tiba pada sebuah pemahaman bahwa sesekali waktu perlu pelaksanaan “Propaganda of the Deeds”, yang salah satu metode taktisnya melibatkan “pernyataan publik” yang menggunakan tindakan-tindakan yang kemudian diterjemahkan sebagai kekerasan. Metode ini dalam kalangan anarkis sendiri sangat ditolak dan dicerca. Namun, secara umum pada prakteknya, Anarkisma adalah sebuah paham politik yang dalam menuju cita-citanya, masyarakat anarki/utopia, menentang kekerasan dalam bentuk apapun.

Memang, label Individualisma, sosialisma, kolektivisma, mutualisma, serta label-label lainnya terus-menerus tertempel pada Anarkisma. Tetapi, sebagaimana rekaman sejarahwan George Richard Esenwein dalam bukunya "Anarchist Ideology and the Working Class Movement in Spain, 1868–1898" yang mencatat seruan “Anarkisma Tanpa Kata Sifat” dari Fernando Tarrida del Mármol sebagai ajakan untuk bertoleransi, ditambah dengan sifat-sifat dasarnya yang egalitarian, indigenous, feminist, ecological dan cultural-concious, saya menganggap bahwa Anarkisma adalah sesuatu yang layak kita pandang sebagai sebuah solusi untuk menghadapi kompleksitas permasalahan Umat Manusia hari ini. Saya tertarik kepada statement David Graeber and Andrej Grubacic, dalam buku "Anarchism, Or The Revolutionary Movement Of The Twenty-first Century" yang memberikan argumen bahwa oleh karena Anarkisma bukan sebuah paham yang “diciptakan” oleh seseorang saja, maka ia berkencerungan untuk terus berkembang berdasarkan prinsip-prinsip praktis yang lebih subjektif namun tidak melupakan objektifisma, dan secara alami men-disable fanatisme. Nature dari Anarkisma adalah “open doctrine” yang membuka ruang seluas-luasnya untuk kreativitas, kontekstualitas, serta identitas.

Pada akhir tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa maksud tulisan ini adalah pertama: meluruskan pengertian Anarkisma, dan kedua: untuk menyampaikan bahwa, setelah saya sebelumnya pernah berkata “Panggil Saya Orang Minahasa”, sekarang, jika anda perlu label lain, maka Panggil Saya Seorang Anarkis.

Anda?...



Menghancurkan Negara, Membangun Kebudayaan

State Nation and Culture are two contradictive things.
It can not live together. It will kill each other.
(Rudolf Rocker, Anarchism and Anarchy Syndicalism)

Negara adalah sebuah kesalahan paling telak umat manusia dalam sejarah perkembangan peradabannya. Kesalahan berikut yang tidak terampunkan yang pada akhirnya menjerumuskan umat manusia dalam era kegelapan paling tragis, yakni penindasan sistematik minoritas manusia terhadap mayoritas manusia. Negara adalah kebutralan paling puncak dalam sejarah yang secara terang-terangan melegalkan terjadinya pembunuhan dan perbudakan manusia. Dan negara adalah konsep paling utopia dari sekian banyak hasil pemikiran manusia.
Perkembangan luar biasa di bidang iptek, ekonomi, politik, hukum dan sosial yang kemudian didaulat oleh para pemegang kekuasaan sebagai kemajuan peradaban manusia pada kenyataan adalah sebuah ilusi. Peradaban manusia justru terpukul mundur ratusan tahun kebelakang jika kemudian melihat kenyataan yang terjadi sekarang ini. Iptek hanya menjadi milik dari kalangan minoritas, kebijakan ekonomi hanya menyisakan kemiskinan diberbagai belahan dunia dan mengakibatkan lahirnya ancaman kemusnahan manusia. Hukum dalam negara nasion justru tak mampu berlaku adil. Hukum hanya menjadi alat represif untuk kemudian meneror segala macam upaya perbaikan. Sistem politik demokrasi yang di elu-elukan sebagai jawaban yang dinanti ternyata tak lebih buruk dari sistem monarki absolut, sistem Caesarianisme yang otoriter. Demokrasi gagal merepresentasikan keragaman kebutuhan dari setiap individu yang dengan terpaksa bernaung di bawah payung negara. Sistem sosial juga tak luput dari kegagalan. Tak bisa diingkari jika pada kenyataannya dunia saat ini terbelah dalam berbagai kasta yang jelas tidak akan mungkin melahirkan keadilan sejati.
F. Nietzsche, salah seorang filsuf terkemuka dunia adalah salah seorang yang menyadari dengan jelas bahwa negara adalah suatu bentuk kegagalan manusia. Nietzsche mengatakan bahwa dalam negara, tidak seorangpun yang dapat melakukan sesuatu melebihi kapasitasnya. Karena memang dalam negara, setiap individu dipaksa untuk takluk dibawah aturan-aturan legal yang mengekang kebebasan manusia. Negara secara sadar mengeliminasi kebebasan yang merupakan nafas dasar manusia. Negara dengan segala institusi-institusinya mengawasi setiap individu dalam beraktifitas. Lewat institusi-institusi tersebut, negara menjalankan brain washing kepada setiap individu.
Negara Budaya yang sempat ditawarkan sebagai jalan tengah antara negara dan kebudayaan pada dasarnya hanyalah ilusi total untuk menutupi kegagalan negara menjamin hak hidup kebudayaan dalam setiap individu-individu. Kepemimpinan intelektual yang dijalankan negara dengan sendirinya mendiskriminasi keberadaan budaya. Negara dengan segaja mensubordinasikan kebudayaan hanya sekedar badut dalam dialektika perjalanan peradaban. Kebebasan yang ditawarkan negara adalah sebuah konsep yang tak pernah jelas dudukannya. Kebebasan dalam negara nation hanyalah bahasa lain otoritarianisme. Negara adalah kemenangan mesin terhadap pemikiran manusia, inovasi, kreasi, rasionalitas, perasaan, sikap dan perilaku. Anda dapat menemukan dengan jelas kengerian manusia dalam negara dengan Hobbes dalam karyanya Leviathan.
Kebudayaan hanya dapat berkembang jika kemudian politik berada dalam titik yang terendah. Saat politik tereduksi sampai ke tahap yang paling kritis, kebudayaan mendapatkan jalan untuk mengembangkan diri dan menyumbangkan gagasan, ide, pemikiran, praktik terbaiknya untuk kemajuan peradaban. Karena pada dasarnya negara nation selalu anti terhadap keragaman dan akan terus menerus menaruh curiga setiap aspek sosial yang kemudian mendorong hal itu. Dan di sinilah negara nation menemukan titik kontradiksi dengan aspirasi kreatif perkembangan kebudayaan yang akan selalu terdorong untuk menemukan bentuk-bentuk baru dalam aktifitas sosial. Kebebasan berekspresi sejati dalam negara nation tak akan pernah tercapai. Proses sensor akan selalu diterapkan negara nation untuk mengantisipasi inovasi budaya yang pada akhirnya akan mengancam kepentingan negara nation dalam berbagai sendi.
Setiap karya yang sukses, akan selalu melahirkan keinginan untuk melahirkan sebuah karya lain yang akan melebihi kesuksesan karya sebelumnya. Dalam kebudayaan, dialektika material yang melahirkan tesis dan anti tesis adalah praktik yang tidak bisa diterima oleh negara nation karena kemudian akan membuka kenyataan bahwa tidak ada hal yang absolut dalam kehidupan. Setiap bentuk hari ini hanyalah tepat jika dipraktekkan pada hari ini, karena hari besok mempunyai nilai dan prakteknya sendiri. Tapi sifat dasar kekuasaan adalah mempertahankan segala sesuatu yang dianggap menguntungkan tetap seperti apa adanya. Dan dengan membentuk pakem-pakem sosial, ekonomi, politik, dan hukum, negara nation melakukan proteksi terhadap jaminan bahwa eksploitasi mereka terhadap mayoritas individu yang selama ini dirugikan tetap berlangsung.
Negara nation mempunyai sifat dasar kekuasaan yang akan selalu memusuhi ekspresi eksperimentalis yang merupakan dasar percobaan terhadap hal baru. Dan dalam kebudayaan, ekspresi eksperimentalis adalah satu sifat dan ciri dasar. Karena hanya kebebasan, keberanian, dan inovasilah yang bisa memberikan manusia inspirasi untuk menghasilkan sesuatu yang monumental yang dengan sendirinya akan menghasilkan transformasi di berbagai sisi kehidupan.
Dan pembebasan manusia dari segala bentuk eksploitasi ekonomi, opresi ekonomi, diskriminasi sosial dan hukum dapat tercapai dengan membebaskan kebudayaan untuk mengembangkan diri. Dan ini berarti menghancurkan negara nation dan segala macam keberadaannya. Sebab pada dasarnya, manusia dan kebudayaan tidaklah membutuhkan kehadiran negara. Negara nation walaupun kemudian tidak ada tidaklah memberi pengaruh signifikan terhadap perkembangan peradaban. Kalaupun ketakutan akan terjadinya chaos, itu hanyalah propaganda yang dilandaskan diatas ketakutan minoritas oligarki penguasa kebijakan ekonomi, politik, dan hukum terhadap ancaman akan dihancurkannya kekayaan mereka yang disentralisir dengan menindas manusia lain.
Peter Kropotkin dalam bukunya Memoirs of Revolutionist mengungkapkan secara jelas kebobrokan negara nation dan tindakan brutalnya menyerang kebudayaan. Itu pula yang kemudian melandasi semangat untuk melawan di berbagai belahan dunia dengan spirit awal adalah perjuangan kebudayaan. EZLN yang berada di Meksiko misalnya. Sub Comandante Marcos jelas-jelas mengumandangkan perang kepada sistem dominan (baca: kapitalisme) yang menyerang kebudayaan Indian di Meksiko. Perjuangan ETA juga adalah contoh yang lain. ETA adalah saksi bahwa negara nation Spanyol ternyata hanya bentuk dari fasisme baru terhadap rakyat Basque. Masih banyak yang bisa menjadi refresensi. Ada IRA di Irlandia, dan Mawale Movement sendiri di Sulawesi Utara.
Seni untuk memerintah manusia selamanya tidak akan pernah menjadi seni yang mendidik dan memberikan manusia inspirasi untuk memperbaharui kehidupan ke arah yang lebih baik. Harus diingat bahwa setiap revolusi yang terjadi, baik di ranah politik, filsafat, teknologi maupun sisi lainnya adalah bentuk pemberontakan dan ketidakpercayaan terhadap negara nation yang jahat. Pada kenyataan historis, negara nation tak pernah benar-benar terlibat dalam sebuah perubahan menuju perbaikan kehidupan umat manusia. Kalaupun terlibat, itu hanya karena negara nation melihat bahwa mereka mempunyai keuntungan dengan melibatkan diri dalam perubahan tersebut. Dan sudah pasti, perubahan tersebut akan berada di bawah kontrol penuh dari negara nation.
Jauh sebelum sistem politik modern yang berjanji mengarahkan manusia ke masa depan yang lebih cerah yang bernama demokrasi hadir, kebudayaan adalah yang pertama hadir. Budaya (sekali lagi) telah menemani manusia sejak zaman purba. Kebudayaan adalah kawan karib dari masyarakat sebelum kemudian akumulasi keuntungan menjadi spirit hidup kalangan minoritas. Ekpansionis, barbaris, anti keadilan adalah sedikit contoh sifat dasar negara nation. Penjajahan, perang, kemiskinan, kemerosotan moral adalah akibat dari sifat-sifat nation state tersebut.
Seni yang adalah anak kandung dari kebudayaan tak luput dari gempuran ini. Seni untuk seni adalah contoh riil, betapa sifat korup dari negara nation berusaha di infiltrasikan secara sengaja di semua sendi kehidupan. Dan seni untuk revolusi adalah anti tesa yang hadir sebagai jawaban tanding bagi negara nation. Karena seni adalah milik komunal dan tidak bisa tidak, harus bisa diakses secara luas dan merata oleh setiap individu. Pembangunan museum, pembangunan lembaga-lembaga kesenian, pembuatan aturan-aturan/koridor-koridor seni (biasanya berupa dogma seni) adalah cara keji dari negara nation untuk menjauhkan seni dari tangan masyarakat.
Seni dan budaya tidak bisa dibatasi dengan dogma. Tidak bisa dilingkupi dengan dikotomi ataupaun fitnah lainnya. Seni budaya adalah simbiosis mutualisme dari pola hidup masyarakat. Kebudayaan adalah jalan untuk menawarkan perkembangan-perkembangan baru dalam masyarakat. Menawarkan ruang hidup yang lebih luas bagi setiap indivdu dalam masyarakat untuk kegiatan secara individu maupun secara komunal. Jika kemudian seni dilingkupi dengan niatan kapital, maka keuntungan adalah keniscayaan. Dan pada akhirnya seni kebudayaan tidak mempunyai akar pijakan dalam masyarakat.
Sifat licik dari negara nation lain adalah dengan membenturkan kebudayaan dalam sebuah format kompetisi dengan nilai ukur yang permanen. Padahal, setiap kebudayaan mempunyai tolak ukur masing-masing. Meski tidak bisa diingkari bahwa setiap kebudayaan akan selalu bergesekan (bukan bertempur), tapi semuanya itu dilandasi semangat untuk kemudian saling berdialektika dan mempertajam nilai-nilai positif baru dalam tiap-tiap kebudayaan itu sendiri (baca: Peter Kropotkin, Mutual Aid – A Factor of Evolution). Format kompetisi kebudayaan (dalam lomba misalnya) adalah bentuk pelacuran kebudayaan yang seharusnya dilawan. Tiap kebudayaan seharusnya hidup saling berdampingan, saling mengisi kekurangan tanpa kemudian ditempeli dengan niatan untuk saling menaklukkan dan saling menguasai. Negara nation dalam setiap upaya menghancurkan kebudayaan benar-benar melakukan pembohongan dan hegemoni (baca: Antonio Gramsci)
Tabrakan kebudayaan dalam hal kepercayaan (baca: agama) adalah contoh jelas betapa negara nation adalah dalang yang harus bertanggung jawab penuh terhadap setiap kerusakan peradaban yang dihasilkan. Dengan dalih sentimen yang dibangun di atas propaganda konservatifisme dan fanatisme, negara nation sedang mengarahkan peradaban ke jurang kematian.
Meski negara nation terus berupaya menghancurkan fundamen kebudayaan, ternyata dalam prakteknya nilai-nilai kebudayaan itu tetap tak pernah bisa dengan mudah dilunturkan. Dan ini adalah titik terang bahwa kebudayaan masih bisa mempertahankan diri bahkan kemudian menyerang balik negara nation yang melukainya dengan mengumandangkan revolusi. Elisee Reclus menyatakan bahwa revolusi hanyalah sebuah tahapan awal dalam proses evolusi manusia yang tak akan berakhir. Masyarakat akan selalu bergerak dan menemukan nilai-nilai positif baru (meski pada kenyataannya, nilai positif baru yang ditemukan tak lebih dari modifikasi nilai positif lama diramu dengan kontekstualitas). Jadi pada hakikatnya, tidak akan ada sistem sejati yang absolut seperti propaganda dari berbagai ideologi seperti kapitalisme-neoliberalisme, komunisme, fasisme, caesarianisme, maupun ideologi-ideologi lain yang kemudian memimpikan sebuah tatanan mutlak yang bisa bertahan sepanjang peradaban dan bisa diterapkan di berbagai kondisi geografis, kondisi ekonomi, kondisi psikologi, dan kondisi sosial.
Transformasi kebudayaan secara luas dan massal akan benar-benar dapat terjadi jika kemudian pembacaan detail terhadap karakter-karakter kebudayaan berhasil dilakukan. Dan salah satu metode pendekatan yang bisa dicoba (meski tidak ada jaminan mutlak akan berhasil, kecuali bahwa kita akan bisa menemukan pengalaman baru untuk diterapkan di situasi berikut sebagai pelajaran historis) untuk melakukan investigasi sosial dan analisa klas secara lebih mendalam. Dan investigasi inipun tak boleh dilakukan dengan kemudian menafikan faktor-faktor minor (dengan alasan tidak mempengaruhi secara umum) karena itu berarti kita akan kembali mengulangi kesalahan tafsir ilmu pengetahuan yang statis (sekedar catatan, ilmu pengetahuan tak mempunyai jiwa perubahan/revolusi. Filsafat yang mempunyai hal itu. Setiap perubahan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang selalu didahului dengan revolusi dibidang filsafat).
Dalam investigasi tersebutlah, kebudayaan dapat diandalkan untuk kemudian mengembalikan semangat nasionalisme ke posisi yang semula. Nasionalisme yang bernafaskan sendi peradaban, bukan pada semangat patriotisme negara yang dibangun diatas mimpi, doktrin dan teror. Kebudayaan dalam prosesnya akan mendistorsi kepercayaan masyarakat terhadap mimpi-mimpi ideal sebuah negara nation yang absurd. Dan ketika kepercayaan buta itu berganti kesadaran objektif tiap-tiap individu dengan menyadari peran vitalnya dalam masyarakat, maka negara secara perlahan mulai dihancurkan. Dogma dan doktrin negara nation dengan segera harus digantikan spirit of life dari kebudayaan. Kekakuan negara nation dibenturkan dengan kenyataan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang ever changing. Teror negara nation dihancurkan dengan memberikan kesadaran psikologis individual dan psikologis sosial.
Dan pada akhirnya, setiap bentuk legalisasi kekuasaan yang menindas individu, masyarakat, dan peradaban berbentuk negara nation DIHANCURKAN !!!

Menjadi Anarkis Bukanlah Sebuah Kesalahan

"Anarkisme adalah sebuah sistem sosialis tanpa pemerintahan. Ia dimulai di antara manusia, dan akan mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya selama merupakan pergerakan dari manusia"
(Peter Kropotkin)
Sungguh harus diakui bahwa kebiasaan untuk kemudian dengan sepihak men-justifikasi segala sesuatu yang belum dikenal dengan nilai negatif sudah terlanjur berkembang terutama dalam masyarakat. Ini tentu saja berlangsung bukan tanpa sebab. Karena memang pada dasarnya, sebagian besar pendiskreditan sesuatu sebagai hal yang jahat dan salah didasari oleh sikap reaksioner yang dilandasi ketakutan berlebihan terhadap hal tersebut. Dan sudah seharusnya dengan sesegera mungkin, penjelasan secara objektif dan menyeluruh harus dilakukan. Ini semata-mata agar kemudian kesalahan ini tak berlanjut menjadi kebenaran yang pada puncaknya akan menjadi dogma yang tidak bisa diperbantahkan lagi secara objektif.
Anarkisme adalah suatu paham yang mempercayai bahwa segala bentuk negara, pemerintahan, dengan kekuasaannya adalah lembaga-lembaga yang menumbuh suburkan penindasan terhadap kehidupan. Oleh karena itu negara, pemerintahan, beserta perangkatnya harus dihilangkan/dihancurkan. Secara spesifik pada sektor ekonomi, politik, dan administratif, Anarki berarti koordinasi dan pengelolaan, tanpa aturan birokrasi yang didefinisikan secara luas sebagai pihak yang superior dalam wilayah ekonomi, politik dan administratif (baik pada ranah publik maupun privat).
Anarkisme berasal dari kata dasar anarki dengan imbuhan isme. Kata anarki merupakan kata serapan dari bahasa Inggris anarchy atau anarchie (Belanda/Jerman/Prancis), yang berakar dari kata Yunani anarchos/anarchein. Ini merupakan kata bentukan a (tidak/tanpa/nihil/negasi) yang disisipi n dengan archos/archein (pemerintah/kekuasaan atau pihak yang menerapkan kontrol dan otoritas secara koersif, represif, termasuk perbudakan dan tirani). Anarchos/anarchein yang berarti tanpa pemerintahan atau pengelolaan dan koordinasi tanpa hubungan memerintah dan diperintah, menguasai dan dikuasai, mengepalai dan dikepalai, mengendalikan dan dikendalikan, dan lain sebagainya. Sedangkan Anarkis berarti orang yang mempercayai dan menganut anarki. Sedangkan isme sendiri berarti paham/ajaran/ideologi.
Anarkisme adalah teori politik yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat tanpa hirarkis (baik dalam politik, ekonomi, maupun sosial). Para Anarkis berusaha mempertahankan bahwa anarki, ketiadaan aturan-aturan, adalah sebuah format yang dapat diterapkan dalam sistem sosial dan dapat menciptakan kebebasan individu dan kebersamaan sosial. Anarkis melihat bahwa tujuan akhir dari kebebasan dan kebersamaan sebagai sebuah kerjasama yang saling membangun antara satu dengan yang lainnya. Atau, dalam tulisan Bakunin yang terkenal:
"Kebebasan tanpa sosialisme adalah ketidakadilan, dan sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan kebrutalan."
Dalam sejarahnya, para anarkis dalam berbagai gerakannya kerap kali menggunakan kekerasan sebagai metode yang cukup ampuh dalam memperjuangkan ide-idenya, seperti para anarkis yang terlibat dalam kelompok Nihilis di Rusia era Tzar, Leon Czolgosz, grup N17 di Yunani. Hal itu juga dapat tergambar jelas dalam slogan para anarkis Spanyol pengikutnya Durruti yang berbunyi terkadang cinta hanya dapat berbicara melalui selongsong senapan.
Yang sangat sarat akan penggunaan kekerasan dalam sebuah metode gerakan. Penggunaan kekerasan dalam anarkisme sangat berkaitan erat dengan metode propaganda by the deed, yaitu metode gerakan dengan menggunakan aksi langsung (perbuatan yang nyata) sebagai jalan yang ditempuh, yang berarti juga melegalkan pengrusakan, kekerasan, maupun penyerangan. Selama hal tersebut ditujukan untuk menyerang kapitalisme ataupun negara. Istilah itu dipopulerkan pertama kali oleh Errico Malatesta. Seorang Anarkis berkebangsaan Italia yang juga adalah kawan dekat dari Peter Kropotkin.
Namun demikian, tidak sedikit juga dari para anarkis yang tidak sepakat untuk menjadikan kekerasan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh. Dalam bukunya What is Communist Anarchist, pemikir anarkis Alexander Berkman menulis:
"Anarkisme bukan bom, ketidakteraturan atau kekacauan. Bukan perampokan dan pembunuhan. Bukan pula sebuah perang di antara yang sedikit melawan semua. Bukan berarti kembali kekehidupan barbarisme atau kondisi yang liar dari manusia. Anarkisme adalah kebalikan dari itu semua. Anarkisme berarti bahwa anda harus bebas. Bahwa tidak ada seorangpun boleh memperbudak anda, menjadi majikan anda, merampok anda, ataupun memaksa anda. Itu berarti bahwa anda harus bebas untuk melakukan apa yang anda mau, memiliki kesempatan untuk memilih jenis kehidupan yang anda mau serta hidup didalamnya tanpa ada yang mengganggu, memiliki persamaan hak, serta hidup dalam perdamaian dan harmoni seperti saudara. Berarti tidak boleh ada perang, kekerasan, monopoli, kemiskinan, penindasan, serta menikmati kesempatan hidup bersama-sama dalam kesetaraan."
(Alexander Berkman, What is Communist Anarchist 1870-1936)
Dari berbagai selisih paham antar anarkis dalam mendefinisikan suatu ide kekerasan sebagai sebuah metode, kekerasan tetaplah bukan merupakan suatu ide eksklusif milik anarkisme, sehingga anarkisme tidak bisa dikonotasikan sebagai kekerasan. Seperti makna tentang anarkisme yang banyak dikutip oleh berbagai media di Indonesia yang berarti sebagai sebuah aksi kekerasan. Karena bagaimanapun kekerasan merupakan suatu pola tingkah laku alamiah manusia yang bisa dilakukan oleh siapa saja dari kalangan apapun. Tindakan kekerasan juga sering dilakukan oleh berbagai macam varian ideologi lain dibelahan dunia ini. Kapitalisme, komunisme, fasisme juga melakukan tindakan kekerasan sebagai pemaksaan keyakinan ideologinya. Hal itu dapat jelas terlihat pada tingkah negara dalam memaksakan kehendaknya kepada setiap individu. Kekerasan dengan teror secara fisik maupun secara psikologi adalah agenda tetap dari negara.
Anarkisme sebagai sebuah ide yang dalam perkembangannya juga menjadi sebuah filsafat yang juga memiliki perkembangan serta dinamika yang cukup menarik. Anarkisme sangat dekat dengan aliran filsafat revolusioner yang kemudian populer dengan nama Marxisme. Marxisme dalam perkembangannya setelah Marx dan Engels berkembang menjadi 3 kekuatan besar ideologi dunia yang menyandarkan dirinya pada pemikiran-pemikiran Marx. Ketiga ideologi itu adalah:
1. Komunisme, yang kemudian dikembangkan oleh Lenin menjadi ideologi Marxisme-Leninisme yang saat ini menjadi pegangan mayoritas kaum komunis sedunia,
2. Sosialisme Demokrat (Sosdem), yang pertama kali dikembangkan oleh Eduard Bernstein dan berkembang di Jerman dan kemudian berkembang menjadi sosialis yang berciri khas Eropa, dan
3. Neomarxisme dan Gerakan Kiri Baru, yang berkembang sekitar tahun 1965-1975 di universitas-universitas di Eropa.
Walaupun demikian, ajaran Marx tidak hanya berkutat pada ketiga aliran besar itu karena banyak sekali sempalan-sempalan yang memakai ajaran Marx sebagai basis ideologi dan perjuangan mereka. Aliran lain yang berkembang serta juga memakai Marx sebagai tolak pikirnya seperti Anarkisme.
Walaupun demikian Anarkisme dan Marxisme berada dipersimpangan jalan dalam memandang masalah-masalah tertentu. Pertentangan mereka yang paling kelihatan adalah persepsi terhadap negara. Anarkisme percaya bahwa negara mempunyai sisi buruk dalam hal sebagai pemegang monopoli kekuasaan yang bersifat memaksa. Negara hanya dikuasai oleh kelompok-kelompok elit secara politik dan ekonomi, dan kekuatan elit itu bisa siapa saja dan apa saja termasuk kelas proletar seperti yang diimpikan kaum Marxis. Dan oleh karena itu kekuasaan negara (dengan alasan apapun) harus dihapuskan. Disisi lain, Marxisme memandang negara sebagai suatu organ represif yang merupakan perwujudan kediktatoran salah satu kelas terhadap kelas yang lain.
Dalam pandangan kaum Marxis, negara dibutuhkan dalam konteks persiapan revolusi kaum proletar, sehingga negara harus eksis agar masyarakat tanpa kelas dapat diwujudkan. Lagipula, cita-cita kaum Marxis adalah suatu bentuk negara sosialis yang bebas pengkotakan berdasarkan kelas. Selain itu juga, perbedaan kentara antara Anarkisme dengan Marxisme dapat dilihat atas penyikapan keduanya dalam seputar isu kelas serta seputar metoda materialisme historis.
Pierre-Joseph Proudhon, yang adalah pemikir yang mempunyai pengaruh jauh lebih besar terhadap perkembangan Anarkisme. Seorang penulis yang betul-betul berbakat dan merupakan tokoh yang dapat dibanggakan oleh sosialisme modern. Proudhon sangat menekuni kehidupan intelektual dan sosial di zamannya, dan kritik-kritik sosialnya didasari oleh pengalaman hidupnya itu. Diantara pemikir-pemikir sosialis di zamannya, dialah yang paling mampu mengerti sebab-sebab penyakit sosial dan juga merupakan seseorang yang mempunyai visi yang sangat luas. Proudhon mempunyai keyakinan bahwa sebuah evolusi dalam kehidupan intelektual dan sosial menuju ke tingkat yang lebih tinggi harus tidak dibatasi dengan rumus-rumus abstrak.
Proudhon melawan pengaruh tradisi Jacobin yang mendominasi pemikiran demokrat-demokrat di Perancis dan kebanyakan sosialis pada saat itu, dan juga pengaruh negara dan kebijaksanaan ekonomi dalam proses alami kemajuan sosial. Baginya, pemberantasan kedua perkembangan yang bersifat seperti kanker tersebut merupakan tugas utama dalam abad kesembilan belas. Tapi yang harus diperjelas, bahwa Proudhon bukanlah seorang komunis. Dia mengecam hak milik sebagai hak untuk mengeksploitasi, tetapi mengakui hak milik umum alat-alat untuk berproduksi, yang akan dipakai oleh kelompok-kelompok industri yang terikat antara satu dengan yang lain dalam kontrak yang bebas.
Selama hak ini tidak dipakai untuk mengeksploitasi manusia lain dan selama seorang individu dapat menikmati seluruh hasil kerjanya. Jumlah waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk memproduksi sebuah benda menjadi ukuran nilainya dalam pertukaran mutual. Dengan sistem tersebut, kemampuan kapital untuk menjalankan riba dimusnahkan. Jikalau kapital tersedia untuk setiap orang, kapital tersebut tidak lagi menjadi sebuah instrumen yang bisa dipakai untuk mengeksploitasi.
Tokoh utama lain kaum Anarkisme adalah Mikhail Bakunin. Seorang bangsawan Rusia yang kemudian sebagian besar hidupnya tinggal di Eropa Barat. Ia memimpin kelompok Anarkis dalam konferensi besar kaum Sosialis Se-Dunia (Internasionale I) dan terlibat pertengkaran dan perdebatan besar dengan Marx. Bakunin akhirnya dikeluarkan dari kelompok Marxis mainstream dan perjuangan kaum Anarkis dianggap bukan sebagai perjuangan kaum sosialis. Sejak Bakunin, Anarkisme identik dengan tindakan langsung dalam upaya-upaya menuju revolusi. Kaum Anarkis secara jelas menolak konsep parlementarian yang selalu dalam anggapan kaum Marxis dapat menjadi satu jalan pembebasan kaum tertindas. Anarkisme punya taktik yang sangat berbeda sebagai cara untuk menggerakkan massa untuk memberontak. Tapi secara umum dapat dikatakan bahwa jalan yang dipilih oleh kaum Anarkis tidaklah dalam sebuah formasi lembaga, institusi kekuasaan.
Mikhail Bakunin merupakan seorang tokoh Anarkis yang mempunyai energi revolusi yang dashyat. Bakunin merupakan penganut ajaran Proudhon, tetapi mengembangkannya ke bidang ekonomi ketika dia dan sayap kolektifisme dalam First International mengakui hak milik kolektif atas tanah dan alat-alat produksi dan ingin membatasi kekayaan pribadi kepada hasil kerja seseorang. Bakunin juga merupakan anti komunis yang pada saat itu mempunyai karakter yang sangat otoriter.
Pada salah satu pidatonya dalam kongres Perhimpunan Perdamaian dan Kebebasan di Bern (1868), Bakunin mengatakan:
Saya bukanlah seorang komunis karena komunisme mempersatukan masyarakat dalam negara dan terserap di dalamnya. Karena komunisme akan mengakibatkan konsentrasi kekayaan dalam negara, sedangkan saya ingin memusnahkan negara, memusnahkan semua prinsip otoritas dan kenegaraan, yang dalam kemunafikannya ingin membuat manusia bermoral dan berbudaya, tetapi yang sampai sekarang selalu memperbudak, mengeksploitasi dan menghancurkan mereka.
Bakunin dan anarkis-anarkis lain dalam First International percaya bahwa revolusi sudah berada di ambang pintu, dan mengerahkan semua tenaga mereka untuk menyatukan kekuatan revolusioner dan unsur-unsur libertarian di dalam dan di luar First International untuk menjaga agar revolusi tersebut tidak ditunggangi oleh elemen-elemen kediktatoran. Karena itu Bakunin menjadi pencipta gerakan anarkisme moderen.
Walau kemudian kaum anarkis gagal karena ditikam dari belakang oleh kaum Marxis-Leninis, anarkisme tetap melanjutkan perjuangannya untuk mewujudkan masyarakat bersama tanpa institusi penguasa. Setelah era Proudhon dan Bakunin, muncul lagi seorang tokoh besar gerakan anarkis yang bernama Peter Kropotkin. Kropotkin adalah seorang penyokong anarkisme yang memberikan dimensi ilmiah terhadap konsep sosiologi anarkisme.
Anarkisme model Bakunin, tidaklah identik dengan kekerasan. Tetapi ada sekelompok kecil penganut anarkisme setelah Bakunin yang kemudian menggunakan kekerasan sebagai jalan mereka untuk berkampanye tentang sifat otoritarianisme negara. Gerakan ini berhasil mencuri perhatian (terutama media dan negara pada saat itu) sehingga kemudian gerakan anarkis dilbeli sebagai sebuah gerakan yang menjadikan kekerasan sebagai jalur perjuangan mereka.
Dalam perkembangannya di kemudian hari, timbul gerakan anarkisme baru yang menjadikan sosialisme Marx sebagai pandangan hidupnya. Gerakan ini dikenal dengan nama Sindikalisme. Gerakan ini menjadikan sosialisme Marx dan anarkisme Bakunin sebagai dasar perjuangan mereka. Gerakan mereka disebut Anarko-Sindikalisme. Salah satu ideolog terkenal mereka adalah Rudolf Rocker.
Anarkisme, yang besar dan kemudian berbeda jalur dengan Marxisme, bukan merupakan suatu ideologi yang tunggal. Di dalam anarkisme sendiri banyak aliran-aliran pemikiran yang cukup berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan itu terutama dalam hal penekanan dan prioritas pada suatu aspek. Aliran-aliran dan pemikiran-pemikiran yang berbeda di dalam Anarkisme adalah suatu bentuk dari berkembangnya ideologi ini berdasarkan perbedaan latar belakang tokoh, peristiwa-peristiwa tertentu dan tempat/lokasi dimana aliran itu berkembang.
Varian ideologi anarkisme itu misalnya adalah kelompok anarkisme-kolektif yang sering diasosiasikan dengan kelompok anti-otoritarian pimpinan Mikhail Bakunin yang memisahkan diri dari Internationale I. Kelompok ini kemudian membentuk pertemuan sendiri di St. Imier (1872). Disinilah awal perbedaan antara kaum Anarkis dengan Marxis, diman sejak saat itu kaum anarkis menempuh jalur perjuangan yang berbeda dengan kaum Marxis. Perbedaan itu terutama dalam hal persepsi terhadap negara.
Doktrin utama dari anarkis-kolektif adalah "penghapusan segala bentuk negara" dan "penghapusan hak milik pribadi dalam pengertian proses produksi". Doktrin pertama merupakan terminologi umum anarkisme, tetapi kemudian diberikan penekanan pada istilah "kolektif" oleh Bakunin sebagai perbedaan terhadap ide negara sosialis yang dihubungkan dengan kaum Marxis. Sedangkan pada doktrin kedua, anarkis-kolektif mengutamakan penghapusan adanya segala bentuk hak milik yang berhubungan dengan proses produksi dan menolak hak milik secara kolektif yang dikontrol oleh kelompok tertentu. Menurut mereka, pekerja seharusnya dibayar berdasarkan jumlah waktu yang mereka kontribusikan pada proses produksi dan bukan "menurut apa yang mereka inginkan".
Pada tahun 1880-an, para pendukung anarkis kebanyakan mengadopsi pemikiran anarkisme-komunis, suatu aliran yang berkembang terutama di Italia setelah kematian Bakunin. Ironisnya, di kemudian hari label "kolektif" kemudian secara umum sering diasosiasikan dengan konsep Marx tentang negara sosialis.
Ide-ide anarkis bisa ditemui dalam setiap periode sejarah, walaupun masih banyak penelitian yang harus dilakukan dalam bidang ini. Kita bisa menemuinya dalam karya filsuf Tiongkok, Lao-Tse (yang berjudul Arah dan Jalan yang Benar) dan juga filsuf-filsuf Yunani seperti Hedonists dan Cynics dan orang-orang yang mendukung ‘hukum alam’, khususnya filsuf Zeno yang menemukan aliran Stoic yang berlawanan dengan Plato. Mereka menemukan ekspresi dari ajaran-ajaran Gnostics, Karpocrates di Alexandria dan juga dipengaruhi oleh beberapa aliran Kristen di Zaman Pertengahan di Prancis, Jerman dan Belanda. Hampir semua dari mereka menjadi korban represi. Dalam sejarah reformasi Bohemia, anarkisme ditemui dalam karya Peter Chelciky (The Net of Faith) yang mengadili negara dan gereja seperti yang dilakukan oleh Leo Tolstoy di kemudian hari.
Humanis besar lainnya adalah Rabelais yang dalam karyanya menggambarkan kehidupan yang bebas dari semua cengkraman otoritas. Sebagian dari pemrakarsa ideologi libertarian lainnya adalah La Boetie, Sylvan Marechal, dan Diderot. Karya William Godwin yang berjudul Pertanyaan Mengenai Keadilan Politik dan Pengaruhnya Terhadap Moralitas dan Kebahagiaan, merupakan bagian penting dari sejarah anarkisme kontemporer. Dalam karyanya tersebut Godwin menjadi orang pertama yang memberikan bentuk yang jelas mengenai filsafat anarkisme dan meletakannya dalam konteks proses evolusi sosial pada saat itu. Karya tersebut, boleh kita bilang adalah buah matang yang merupakan hasil daripada evolusi yang panjang dalam perkembangan konsep politik dan sosial radikal di Inggris, yang meneruskan tradisi yang dimulai oleh George Buchanan sampai Richard Hooker, Gerard Winstanley, Algernon Sydney, John Locke, Robert Wallace dan John Bellers sampai Jeremy Bentham, Joseph Priestley, Richard Price dan Thomas Paine.
Godwin menyadari bahwa sebab-sebab penyakit sosial dapat ditemukan bukanlah dalam bentuk negara tetapi karena adanya negara itu. Pada saat ini, negara hanyalah merupakan karikatur masyarakat, dan manusia yang ada dalam cengkraman negara ini hanyalah merupakan karikatur diri mereka karena manusia-manusia ini digalakkan untuk menyekat ekspresi alami mereka dan untuk melakukan tindakan-tindakan yang merusak akhlaknya. Hanya dengan cara-cara tersebut, manusia dapat dibentuk menjadi hamba yang taat. Ide Godwin mengenai masyarakat tanpa negara mengasumsikan hak sosial untuk semua kekayaan alam dan sosial, dan kegiatan ekonomi akan dijalankan berdasarkan kooperasi bebas diantara produsen-produsen dan menihilkan eksploitasi yang pada hari ini semakin sering terjadi.
Secara singkat, anarkisme dapat dijelaskan sebagai bentuk varian dari berbagai macam ideologi humanis yang berusaha menemukan cara untuk memperbaharui tatanan dunia yang kini terbagi dalam klas minoritas yang menindas klas mayoritas. Anarkisme adalah bentuk ekspresi pemikiran manusia ketika demokrasi pada akhirnya justru makin membawa manusia kedalam keterpurukan sosial, ekonomi, politik dan terutama keterpurukan budaya. Anarkisme adalah sebuah jalan alternatif yang coba digagas setelah belajar dari pengalaman kegagalan demi kegagalan berbagai varian ideologi lain yang hampir mirip. Yang membedakan adalah kenyataan bahwa sampai saat ini, Anarkisme adalah satu-satunya ideologi yang bebas tafsir, bebas praktek, ringan dan mudah dalam penjabaran ideologinya, dan menerima perbedaan seutuhnya tanpa pernah ada niatan untuk meleburkannya. Boleh dibilang, Anarkisme paling mengerti dan paham tentang masalah kebudayaan yang hari ini adalah menjadi isu hangat dunia.
Jadi, jangan takut untuk menjadi Anarkis. Itu bukanlah sebuah kesalahan. Saya pun adalah seorang ANARKIS !!!


"ANARCHISM: WHAT IT REALLY STANDS FOR" by: Emma Goldman

Emma Goldman, Anarchism and Other Essays(Third revised edition, New York: Mother Earth Publishing Association, 1917)


ANARCHY.Ever reviled, accursed, ne'er understood,Thou art the grisly terror of our age."Wreck of all order," cry the multitude,"Art thou, and war and murder's endless rage."O, let them cry. To them that ne'er have strivenThe truth that lies behind a word to find,To them the word's right meaning was not given.They shall continue blind among the blind.But thou, O word, so clear, so strong, so pure,Thou sayest all which I for goal have taken.I give thee to the future! Thine secureWhen each at least unto himself shall waken.Comes it in sunshine? In the tempest's thrill?I cannot tell--but it the earth shall see!I am an Anarchist! Wherefore I willNot rule, and also ruled I will not be!JOHN HENRY MACKAY.

THE history of human growth and development is at the same time the history of the terrible struggle of every new idea heralding the approach of a brighter dawn. In its tenacious hold on tradition, the Old has never hesitated to make use of the foulest and cruelest means to stay the advent of the New, in whatever form or period the latter may have asserted itself. Nor need we retrace our steps into the distant past to realize the enormity of opposition, difficulties, and hardships placed in the path of every progressive idea. The rack, the thumbscrew, and the knout are still with us; so are the convict's garb and the social wrath, all conspiring against the spirit that is serenely marching on.
Anarchism could not hope to escape the fate of all other ideas of innovation. Indeed, as the most revolutionary and uncompromising innovator, Anarchism must needs meet with the combined ignorance and venom of the world it aims to reconstruct.
To deal even remotely with all that is being said and done against Anarchism would necessitate the writing of a whole volume. I shall therefore meet only two of the principal objections. In so doing, I shall attempt to elucidate what Anarchism really stands for.
The strange phenomenon of the opposition to Anarchism is that it brings to light the relation between so-called intelligence and ignorance. And yet this is not so very strange when we consider the relativity of all things. The ignorant mass has in its favor that it makes no pretense of knowledge or tolerance. Acting, as it always does, by mere impulse, its reasons are like those of a child. "Why?" "Because." Yet the opposition of the uneducated to Anarchism deserves the same consideration as that of the intelligent man.
What, then, are the objections? First, Anarchism is impractical, though a beautiful ideal. Second, Anarchism stands for violence and destruction, hence it must be repudiated as vile and dangerous. Both the intelligent man and the ignorant mass judge not from a thorough knowledge of the subject, but either from hearsay or false interpretation.
A practical scheme, says Oscar Wilde, is either one already in existence, or a scheme that could be carried out under the existing conditions; but it is exactly the existing conditions that one objects to, and any scheme that could accept these conditions is wrong and foolish. The true criterion of the practical, therefore, is not whether the latter can keep intact the wrong or foolish; rather is it whether the scheme has vitality enough to leave the stagnant waters of the old, and build, as well as sustain, new life. In the light of this conception, Anarchism is indeed practical. More than any other idea, it is helping to do away with the wrong and foolish; more than any other idea, it is building and sustaining new life.
The emotions of the ignorant man are continuously kept at a pitch by the most blood-curdling stories about Anarchism. Not a thing too outrageous to be employed against this philosophy and its exponents. Therefore Anarchism represents to the unthinking what the proverbial bad man does to the child,--a black monster bent on swallowing everything; in short, destruction and violence.
Destruction and violence! How is the ordinary man to know that the most violent element in society is ignorance; that its power of destruction is the very thing Anarchism is combating? Nor is he aware that Anarchism, whose roots, as it were, are part of nature's forces, destroys, not healthful tissue, but parasitic growths that feed on the life's essence of society. It is merely clearing the soil from weeds and sagebrush, that it may eventually bear healthy fruit.
Someone has said that it requires less mental effort to condemn than to think. The widespread mental indolence, so prevalent in society, proves this to be only too true. Rather than to go to the bottom of any given idea, to examine into its origin and meaning, most people will either condemn it altogether, or rely on some superficial or prejudicial definition of non-essentials.
Anarchism urges man to think, to investigate, to analyze every proposition; but that the brain capacity of the average reader be not taxed too much, I also shall begin with a definition, and then elaborate on the latter.
ANARCHISM:--The philosophy of a new social order based on liberty unrestricted by man-made law; the theory that all forms of government rest on violence, and are therefore wrong and harmful, as well as unnecessary.
The new social order rests, of course, on the materialistic basis of life; but while all Anarchists agree that the main evil today is an economic one, they maintain that the solution of that evil can be brought about only through the consideration of every phase of life,--individual, as well as the collective; the internal, as well as the external phases.
A thorough perusal of the history of human development will disclose two elements in bitter conflict with each other; elements that are only now beginning to be understood, not as foreign to each other, but as closely related and truly harmonious, if only placed in proper environment: the individual and social instincts. The individual and society have waged a relentless and bloody battle for ages, each striving for supremacy, because each was blind to the value and importance of the other. The individual and social instincts,--the one a most potent factor for individual endeavor, for growth, aspiration, self-realization; the other an equally potent factor for mutual helpfulness and social well-being.
The explanation of the storm raging within the individual, and between him and his surroundings, is not far to seek. The primitive man, unable to understand his being, much less the unity of all life, felt himself absolutely dependent on blind, hidden forces ever ready to mock and taunt him. Out of that attitude grew the religious concepts of man as a mere speck of dust dependent on superior powers on high, who can only be appeased by complete surrender. All the early sagas rest on that idea, which continues to be the Leitmotiv of the biblical tales dealing with the relation of man to God, to the State, to society. Again and again the same motif, man is nothing, the powers are everything. Thus Jehovah would only endure man on condition of complete surrender. Man can have all the glories of the earth, but he must not become conscious of himself. The State, society, and moral laws all sing the same refrain: Man can have all the glories of the earth, but he must not become conscious of himself.
Anarchism is the only philosophy which brings to man the consciousness of himself; which maintains that God, the State, and society are non-existent, that their promises are null and void, since they can be fulfilled only through man's subordination. Anarchism is therefore the teacher of the unity of life; not merely in nature, but in man. There is no conflict between the individual and the social instincts, any more than there is between the heart and the lungs: the one the receptacle of a precious life essence, the other the repository of the element that keeps the essence pure and strong. The individual is the heart of society, conserving the essence of social life; society is the lungs which are distributing the element to keep the life essence--that is, the individual--pure and strong.
"The one thing of value in the world," says Emerson, "is the active soul; this every man contains within him. The soul active sees absolute truth and utters truth and creates." In other words, the individual instinct is the thing of value in the world. It is the true soul that sees and creates the truth alive, out of which is to come a still greater truth, the re-born social soul.
Anarchism is the great liberator of man from the phantoms that have held him captive; it is the arbiter and pacifier of the two forces for individual and social harmony. To accomplish that unity, Anarchism has declared war on the pernicious influences which have so far prevented the harmonious blending of individual and social instincts, the individual and society.
Religion, the dominion of the human mind; Property, the dominion of human needs; and Government, the dominion of human conduct, represent the stronghold of man's enslavement and all the horrors it entails. Religion! How it dominates man's mind, how it humiliates and degrades his soul. God is everything, man is nothing, says religion. But out of that nothing God has created a kingdom so despotic, so tyrannical, so cruel, so terribly exacting that naught but gloom and tears and blood have ruled the world since gods began. Anarchism rouses man to rebellion against this black monster. Break your mental fetters, says Anarchism to man, for not until you think and judge for yourself will you get rid of the dominion of darkness, the greatest obstacle to all progress.
Property, the dominion of man's needs, the denial of the right to satisfy his needs. Time was when property claimed a divine right, when it came to man with the same refrain, even as religion, "Sacrifice! Abnegate! Submit!" The spirit of Anarchism has lifted man from his prostrate position. He now stands erect, with his face toward the light. He has learned to see the insatiable, devouring, devastating nature of property, and he is preparing to strike the monster dead.
"Property is robbery," said the great French Anarchist Proudhon. Yes, but without risk and danger to the robber. Monopolizing the accumulated efforts of man, property has robbed him of his birthright, and has turned him loose a pauper and an outcast. Property has not even the time-worn excuse that man does not create enough to satisfy all needs. The A B C student of economics knows that the productivity of labor within the last few decades far exceeds normal demand. But what are normal demands to an abnormal institution? The only demand that property recognizes is its own gluttonous appetite for greater wealth, because wealth means power; the power to subdue, to crush, to exploit, the power to enslave, to outrage, to degrade. America is particularly boastful of her great power, her enormous national wealth. Poor America, of what avail is all her wealth, if the individuals comprising the nation are wretchedly poor? If they live in squalor, in filth, in crime, with hope and joy gone, a homeless, soilless army of human prey.
It is generally conceded that unless the returns of any business venture exceed the cost, bankruptcy is inevitable. But those engaged in the business of producing wealth have not yet learned even this simple lesson. Every year the cost of production in human life is growing larger (50,000 killed, 100,000 wounded in America last year); the returns to the masses, who help to create wealth, are ever getting smaller. Yet America continues to be blind to the inevitable bankruptcy of our business of production. Nor is this the only crime of the latter. Still more fatal is the crime of turning the producer into a mere particle of a machine, with less will and decision than his master of steel and iron. Man is being robbed not merely of the products of his labor, but of the power of free initiative, of originality, and the interest in, or desire for, the things he is making.
Real wealth consists in things of utility and beauty, in things that help to create strong, beautiful bodies and surroundings inspiring to live in. But if man is doomed to wind cotton around a spool, or dig coal, or build roads for thirty years of his life, there can be no talk of wealth. What he gives to the world is only gray and hideous things, reflecting a dull and hideous existence,--too weak to live, too cowardly to die. Strange to say, there are people who extol this deadening method of centralized production as the proudest achievement of our age. They fail utterly to realize that if we are to continue in machine subserviency, our slavery is more complete than was our bondage to the King. They do not want to know that centralization is not only the death-knell of liberty, but also of health and beauty, of art and science, all these being impossible in a clock-like, mechanical atmosphere.
Anarchism cannot but repudiate such a method of production: its goal is the freest possible expression of all the latent powers of the individual. Oscar Wilde defines a perfect personality as "one who develops under perfect conditions, who is not wounded, maimed, or in danger." A perfect personality, then, is only possible in a state of society where man is free to choose the mode of work, the conditions of work, and the freedom to work. One to whom the making of a table, the building of a house, or the tilling of the soil, is what the painting is to the artist and the discovery to the scientist,--the result of inspiration, of intense longing, and deep interest in work as a creative force. That being the ideal of Anarchism, its economic arrangements must consist of voluntary productive and distributive associations, gradually developing into free communism, as the best means of producing with the least waste of human energy. Anarchism, however, also recognizes the right of the individual, or numbers of individuals, to arrange at all times for other forms of work, in harmony with their tastes and desires.
Such free display of human energy being possible only under complete individual and social freedom, Anarchism directs its forces against the third and greatest foe of all social equality; namely, the State, organized authority, or statutory law,--the dominion of human conduct.
Just as religion has fettered the human mind, and as property, or the monopoly of things, has subdued and stifled man's needs, so has the State enslaved his spirit, dictating every phase of conduct. "All government in essence," says Emerson, "is tyranny." It matters not whether it is government by divine right or majority rule. In every instance its aim is the absolute subordination of the individual.
Referring to the American government, the greatest American Anarchist, David Thoreau, said: "Government, what is it but a tradition, though a recent one, endeavoring to transmit itself unimpaired to posterity, but each instance losing its integrity; it has not the vitality and force of a single living man. Law never made man a whit more just; and by means of their respect for it, even the well disposed are daily made agents of injustice."
Indeed, the keynote of government is injustice. With the arrogance and self-sufficiency of the King who could do no wrong, governments ordain, judge, condemn, and punish the most insignificant offenses, while maintaining themselves by the greatest of all offenses, the annihilation of individual liberty. Thus Ouida is right when she maintains that "the State only aims at instilling those qualities in its public by which its demands are obeyed, and its exchequer is filled. Its highest attainment is the reduction of mankind to clockwork. In its atmosphere all those finer and more delicate liberties, which require treatment and spacious expansion, inevitably dry up and perish. The State requires a taxpaying machine in which there is no hitch, an exchequer in which there is never a deficit, and a public, monotonous, obedient, colorless, spiritless, moving humbly like a flock of sheep along a straight high road between two walls."
Yet even a flock of sheep would resist the chicanery of the State, if it were not for the corruptive, tyrannical, and oppressive methods it employs to serve its purposes. Therefore Bakunin repudiates the State as synonymous with the surrender of the liberty of the individual or small minorities,--the destruction of social relationship, the curtailment, or complete denial even, of life itself, for its own aggrandizement. The State is the altar of political freedom and, like the religious altar, it is maintained for the purpose of human sacrifice.
In fact, there is hardly a modern thinker who does not agree that government, organized authority, or the State, is necessary only to maintain or protect property and monopoly. It has proven efficient in that function only.
Even George Bernard Shaw, who hopes for the miraculous from the State under Fabianism, nevertheless admits that "it is at present a huge machine for robbing and slave-driving of the poor by brute force." This being the case, it is hard to see why the clever prefacer wishes to uphold the State after poverty shall have ceased to exist.
Unfortunately, there are still a number of people who continue in the fatal belief that government rests on natural laws, that it maintains social order and harmony, that it diminishes crime, and that it prevents the lazy man from fleecing his fellows. I shall therefore examine these contentions.
A natural law is that factor in man which asserts itself freely and spontaneously without any external force, in harmony with the requirements of nature. For instance, the demand for nutrition, for sex gratification, for light, air, and exercise, is a natural law. But its expression needs not the machinery of government, needs not the club, the gun, the handcuff, or the prison. To obey such laws, if we may call it obedience, requires only spontaneity and free opportunity. That governments do not maintain themselves through such harmonious factors is proven by the terrible array of violence, force, and coercion all governments use in order to live. Thus Blackstone is right when he says, "Human laws are invalid, because they are contrary to the laws of nature."
Unless it be the order of Warsaw after the slaughter of thousands of people, it is difficult to ascribe to governments any capacity for order or social harmony. Order derived through submission and maintained by terror is not much of a safe guaranty; yet that is the only "order" that governments have ever maintained. True social harmony grows naturally out of solidarity of interests. In a society where those who always work never have anything, while those who never work enjoy everything, solidarity of interests is non-existent; hence social harmony is but a myth. The only way organized authority meets this grave situation is by extending still greater privileges to those who have already monopolized the earth, and by still further enslaving the disinherited masses. Thus the entire arsenal of government--laws, police, soldiers, the courts, legislatures, prisons,--is strenuously engaged in "harmonizing" the most antagonistic elements in society.
The most absurd apology for authority and law is that they serve to diminish crime. Aside from the fact that the State is itself the greatest criminal, breaking every written and natural law, stealing in the form of taxes, killing in the form of war and capital punishment, it has come to an absolute standstill in coping with crime. It has failed utterly to destroy or even minimize the horrible scourge of its own creation.
Crime is naught but misdirected energy. So long as every institution of today, economic, political, social, and moral, conspires to misdirect human energy into wrong channels; so long as most people are out of place doing the things they hate to do, living a life they loathe to live, crime will be inevitable, and all the laws on the statutes can only increase, but never do away with, crime. What does society, as it exists today, know of the process of despair, the poverty, the horrors, the fearful struggle the human soul must pass on its way to crime and degradation. Who that knows this terrible process can fail to see the truth in these words of Peter Kropotkin:

"Those who will hold the balance between the benefits thus attributed to law and punishment and the degrading effect of the latter on humanity; those who will estimate the torrent of depravity poured abroad in human society by the informer, favored by the Judge even, and paid for in clinking cash by governments, under the pretext of aiding to unmask crime; those who will go within prison walls and there see what human beings become when deprived of liberty, when subjected to the care of brutal keepers, to coarse, cruel words, to a thousand stinging, piercing humiliations, will agree with us that the entire apparatus of prison and punishment is an abomination which ought to be brought to an end."

The deterrent influence of law on the lazy man is too absurd to merit consideration. If society were only relieved of the waste and expense of keeping a lazy class, and the equally great expense of the paraphernalia of protection this lazy class requires, the social tables would contain an abundance for all, including even the occasional lazy individual. Besides, it is well to consider that laziness results either from special privileges, or physical and mental abnormalities. Our present insane system of production fosters both, and the most astounding phenomenon is that people should want to work at all now. Anarchism aims to strip labor of its deadening, dulling aspect, of its gloom and compulsion. It aims to make work an instrument of joy, of strength, of color, of real harmony, so that the poorest sort of a man should find in work both recreation and hope.
To achieve such an arrangement of life, government, with its unjust, arbitrary, repressive measures, must be done away with. At best it has but imposed one single mode of life upon all, without regard to individual and social variations and needs. In destroying government and statutory laws, Anarchism proposes to rescue the self-respect and independence of the individual from all restraint and invasion by authority. Only in freedom can man grow to his full stature. Only in freedom will he learn to think and move, and give the very best in him. Only in freedom will he realize the true force of the social bonds which knit men together, and which are the true foundation of a normal social life.
But what about human nature? Can it be changed? And if not, will it endure under Anarchism?
Poor human nature, what horrible crimes have been committed in thy name! Every fool, from king to policeman, from the flatheaded parson to the visionless dabbler in science, presumes to speak authoritatively of human nature. The greater the mental charlatan, the more definite his insistence on the wickedness and weaknesses of human nature. Yet, how can any one speak of it today, with every soul in a prison, with every heart fettered, wounded, and maimed?
John Burroughs has stated that experimental study of animals in captivity is absolutely useless. Their character, their habits, their appetites undergo a complete transformation when torn from their soil in field and forest. With human nature caged in a narrow space, whipped daily into submission, how can we speak of its potentialities?
Freedom, expansion, opportunity, and, above all, peace and repose, alone can teach us the real dominant factors of human nature and all its wonderful possibilities.
Anarchism, then, really stands for the liberation of the human mind from the dominion of religion; the liberation of the human body from the dominion of property; liberation from the shackles and restraint of government. Anarchism stands for a social order based on the free grouping of individuals for the purpose of producing real social wealth; an order that will guarantee to every human being free access to the earth and full enjoyment of the necessities of life, according to individual desires, tastes, and inclinations.
This is not a wild fancy or an aberration of the mind. It is the conclusion arrived at by hosts of intellectual men and women the world over; a conclusion resulting from the close and studious observation of the tendencies of modern society: individual liberty and economic equality, the twin forces for the birth of what is fine and true in man.
As to methods. Anarchism is not, as some may suppose, a theory of the future to be realized through divine inspiration. It is a living force in the affairs of our life, constantly creating new conditions. The methods of Anarchism therefore do not comprise an iron-clad program to be carried out under all circumstances. Methods must grow out of the economic needs of each place and clime, and of the intellectual and temperamental requirements of the individual. The serene, calm character of a Tolstoy will wish different methods for social reconstruction than the intense, overflowing personality of a Michael Bakunin or a Peter Kropotkin. Equally so it must be apparent that the economic and political needs of Russia will dictate more drastic measures than would England or America. Anarchism does not stand for military drill and uniformity; it does, however, stand for the spirit of revolt, in whatever form, against everything that hinders human growth. All Anarchists agree in that, as they also agree in their opposition to the political machinery as a means of bringing about the great social change.
"All voting," says Thoreau, "is a sort of gaming, like checkers, or backgammon, a playing with right and wrong; its obligation never exceeds that of expediency. Even voting for the right thing is doing nothing for it. A wise man will not leave the right to the mercy of chance, nor wish it to prevail through the power of the majority." A close examination of the machinery of politics and its achievements will bear out the logic of Thoreau.
What does the history of parliamentarism show? Nothing but failure and defeat, not even a single reform to ameliorate the economic and social stress of the people. Laws have been passed and enactments made for the improvement and protection of labor. Thus it was proven only last year that Illinois, with the most rigid laws for mine protection, had the greatest mine disasters. In States where child labor laws prevail, child exploitation is at its highest, and though with us the workers enjoy full political opportunities, capitalism has reached the most brazen zenith.
Even were the workers able to have their own representatives, for which our good Socialist politicians are clamoring, what chances are there for their honesty and good faith? One has but to bear in mind the process of politics to realize that its path of good intentions is full of pitfalls: wire-pulling, intriguing, flattering, lying, cheating; in fact, chicanery of every description, whereby the political aspirant can achieve success. Added to that is a complete demoralization of character and conviction, until nothing is left that would make one hope for anything from such a human derelict. Time and time again the people were foolish enough to trust, believe, and support with their last farthing aspiring politicians, only to find themselves betrayed and cheated.
It may be claimed that men of integrity would not become corrupt in the political grinding mill. Perhaps not; but such men would be absolutely helpless to exert the slightest influence in behalf of labor, as indeed has been shown in numerous instances. The State is the economic master of its servants. Good men, if such there be, would either remain true to their political faith and lose their economic support, or they would cling to their economic master and be utterly unable to do the slightest good. The political arena leaves one no alternative, one must either be a dunce or a rogue.
The political superstition is still holding sway over the hearts and minds of the masses, but the true lovers of liberty will have no more to do with it. Instead, they believe with Stirner that man has as much liberty as he is willing to take. Anarchism therefore stands for direct action, the open defiance of, and resistance to, all laws and restrictions, economic, social, and moral. But defiance and resistance are illegal. Therein lies the salvation of man. Everything illegal necessitates integrity, self-reliance, and courage. In short, it calls for free, independent spirits, for "men who are men, and who have a bone in their backs which you cannot pass your hand through."
Universal suffrage itself owes its existence to direct action. If not for the spirit of rebellion, of the defiance on the part of the American revolutionary fathers, their posterity would still wear the King's coat. If not for the direct action of a John Brown and his comrades, America would still trade in the flesh of the black man. True, the trade in white flesh is still going on; but that, too, will have to be abolished by direct action. Trade-unionism, the economic arena of the modern gladiator, owes its existence to direct action. It is but recently that law and government have attempted to crush the trade-union movement, and condemned the exponents of man's right to organize to prison as conspirators. Had they sought to assert their cause through begging, pleading, and compromise, trade-unionism would today be a negligible quantity. In France, in Spain, in Italy, in Russia, nay even in England (witness the growing rebellion of English labor unions), direct, revolutionary, economic action has become so strong a force in the battle for industrial liberty as to make the world realize the tremendous importance of labor's power. The General Strike, the supreme expression of the economic consciousness of the workers, was ridiculed in America but a short time ago. Today every great strike, in order to win, must realize the importance of the solidaric general protest.
Direct action, having proven effective along economic lines, is equally potent in the environment of the individual. There a hundred forces encroach upon his being, and only persistent resistance to them will finally set him free. Direct action against the authority in the shop, direct action against the authority of the law, direct action against the invasive, meddlesome authority of our moral code, is the logical, consistent method of Anarchism.
Will it not lead to a revolution? Indeed, it will. No real social change has ever come about without a revolution. People are either not familiar with their history, or they have not yet learned that revolution is but thought carried into action.
Anarchism, the great leaven of thought, is today permeating every phase of human endeavor. Science, art, literature, the drama, the effort for economic betterment, in fact every individual and social opposition to the existing disorder of things, is illumined by the spiritual light of Anarchism. It is the philosophy of the sovereignty of the individual. It is the theory of social harmony. It is the great, surging, living truth that is reconstructing the world, and that will usher in the Dawn.

0 komentar: